Kau yang menjelma tanya.

Dalam puisiku kau menjelma tanda tanya...
Ketidaktahuanku akan hatimu membuatku terlalu sering menuang "mengapa" pada barisan aksara yang sengaja ku tulis untuk menguapkan perasaanku atasmu.

Pernah sekali waktu, ku cerca kau dengan pertanyaan-pertanyaan yang itu-itu saja dan kau murka. Kau bilang "aku tak perlu ditanyai, diam saja atau berjuta pertanyaanmu hanya akan membuat segalanya kian parah". Aku mengangguk, meski rasanya sangat menyedihkan tak bisa berbuat apa-apa.

Sekali waktu yang lain, aku yang sudah belajar dari hari yang sudah lewat mulai mencari jalan lain. Kau kesal, ku tanya kenapa seperti biasa dan kau tetap sama menjawab tidak apa-apa. Lalu aku berpikir untuk menyingkir sementara, membiarkanmu mendapat ruang lebih luas untuk bernapas, untuk berpikir, untuk melegakan perasaan dan keluar dari masalah yang merusak harimu. Lalu kau bilang " menyingkir saja jika memang ingin, kau tidak peduli perasaanku. Aku sudah biasa melakukan apapun sendirian. Tak perlu sibuk memikirkan aku. Silahkan menyingkir".

Jalan keluar yang ku pilih sekali lagi keliru. Aku sangat peduli sampai tak ku pikirkan lagi perasaanku sendiri, aku sangat ini membantu tapi segala cara yang ku lakukan selalu salah di matamu.

Ah...
Bahkan kali ini menangis saja aku tak lagi berdaya. Suaraku tak ada, hanya aliran air yang menganaksungai di kedua pipiku yang bicara.

Ternyata usahaku untuk setidaknya ada saja tak terlihat olehmu. Rasanya? Seperti ada batu besar menimpa dada. Sesak tapi aku tak bisa berbuat banyak.

Seharusnya kau tahu, aku peduli tanpa harus ku jelaskan, aku mengerti tanpa harus ku katakan, aku memikirkan sampai tak ku pikirkan perasaanku sendiri. Tapi, sudahlah aku tidak apa-apa. Aku tinggal tersenyum palsu di hadapan semua orang, dan perasaan sedihku perlahan akan buram. Kau, semoga lekas mendapat kesenangan.

Komentar

Postingan Populer